13 Februari, 2008

Uti dan Sepasang Bangau Putih

(15)
23 Februari 2003

SEPASANG bangau terbang merendah mendekati sebuah gubuk yang dihuni pasangan suami-isteri, Bapak dan Ibu Karta yang sudah lama belum dikaruniai anak. Bangau itu meninggalkan bayi dalam bungkusan. Pak Karta setengah tidak percaya memanggil isterinya. "Bu! Kemari, bu! Lihat apa yang baru saya temukan," Bu Karta mendekati suaminya yang tengah memegang bungkusan yang berisi bayi.
Sejak itu setiap hari, sepasang bangau tersebut datang menghampiri gubuk Pak Karta. Karena sudah terbiasa, baik Pak Karta maupun isterinya kadang membiarkan sepasang bangau itu bermain-main sendiri dengan Uti. Bangau itu tidak pernah mau makan atau minum yang diberikan Bu Karta. "Aneh ya, Bu? Sepertinya sepasang bangau itu sayang kepada anak kita. Apa mereka bisa bicara dan mengerti bahasa kita?" ujar Pak Karta suatu ketika dan dijawab gelengan kepala isterinya.
Hingga usia remaja, Uti kerap masih sering bermain dengan sepasang bangau itu oleh Pak Karta dan isterinya. Dan selama ini memang kedua bangau itulah yang menjadi teman Uti. Suatu saat, Pak Karta dan isterinya terkesiap ketika mengintip dari celah dinding gubuk. Mereka ternganga-nganga karena yang dilihatnya adalah Raja dan Ratu Swanti yang sudah lama dikabarkan menghilang terkena kutukan tukang sihir. "Bapak dan Ibu Karta silakan masuk! Tidak perlu mengintip-intip seperti itu toh kalian selama ini telah berjasa membesarkan puteri kami," ujar Raja Swanti dengan suara menggema dan membuat kaki Pak Karta dan isterinya bergemeretak.
Raja Swanti menceritakan kutukan yang diberikan kepada dirinya dan isterinya oleh seorang tukang sihir jahat. Kutukan itu akan hilang bila anak mereka beranjak remaja. "Sekarang sebagai balas jasa, kalian berdua ikut kami ke istana. Semua prajurit, hulubalang, dan menteri-menteri yang juga dikutuk penyihir itu telah kembali seperti semula. Seiring dengan hilangnya kutukan kepada kita berdua," tutur Raja Swanti.
Pak Karta dan isterinya menolak diajak ke istana. Mereka ingin tetap hidup di desa. Menurutnya, apa yang telah mereka berdua lakukan selama ini semata karena keikhlasan dan keridloan belaka. Tidak mengharap balas jasa atau apa. Kata mereka, semua sudah ada yang mengatur. Ada dan tiada merupakan suatu hal yang biasa, hendaknya jangan dijadikan sesuatu yang luar biasa. Apalagi mengharap sesuatu dari apa yang telah diperbuat di dunia. "Oleh karena itu, perkenankan kami berdua tetap tinggal di gubuk kami. Di desa, dengan penuh ketenangan dan ketentraman. Istana kami di sini," urai Pak Karta sambil menunduk dan berurai air mata.
Uti memeluk Pak Karta dan Bu Karta. Puteri raja itu pun segera diboyong ke istana kerajaan Swanti. Selang beberapa hari kemudian, utusan kerajaan membawakan Pak Karta dan Bu Karta sekarung emas, merenovasi gubuk menjadi sebuah rumah gedong, dan beberapa harta benda lainnya. Suami isteri yang sudah renta itu hanya bisa bersyukur sambil menangis menitikan air mata. Kini mereka sudah menjadi kaya raya. Uti menjadi seorang puteri yang disukai rakyat kerajaan Swanti.

Tidak ada komentar: