08 Februari, 2008

Maharani dan Raksasa Goa Hijau

DONGENG di bawah ini (15 buah) pernah diterbitkan di Harian Pagi Tribun Jabar di rubrik CIHUI yang sempat hadir beberapa waktu. Namun seiring perkembangannya, rubrik ini 'menghilang' kembali (seperti sejumlah rubrik lainnya...). Nah, salah satu rubrik yang isinya semula diperuntukan buat keluarga termasuk anak-anak ya rubrik dongeng ini. Saya salah seorang yang sempat kebagian mendongeng. Ide dan inspirasinya dari anakku tercinta, De Luna Mumtaz Fadiar yang waktu itu masih kecil usia satu tahunan. Bahkan sejak di dalam kandungan Umi, Regina Pertama --istriku, kita berdua sudah sering mendongeng. Eh, belakangan anaku yang kini sudah berusia 4 tahun (20 Mei mendatang 5 tahun) kerap bercerita sama saya (abi -nya) dan Umi. Makanya, mudah-mudahan beberapa nukilan dongeng 'mini' yang idenya dari sana-sini bisa menjadi kenang-kenangan buat De Luna, anakku. Dan siapa tahu bisa berguna juga buat para blogger yang punya anak. Atau siapa pun....semoga!


(1)
28 July 2002

DI sebuah pulau terpencil hiduplah seorang ibu dengan seorang anak gadis yang bernama Maharani. Putri semata wayang itu memiliki banyak teman seisi makhluk hidup di kepulauan tersebut. Ia pandai menyanyi. Setiap pagi, suara merdunya selalu terdengar dari rumah sederhana di tengah hutan sampai ke seisi pulau. Semua makhluk hidup yang ada di pulau itu amat menyukainya. Mereka merasa sangat terhibur sekali manakala gadis cantik itu melantunkan sebuah lagu. Termasuk binatang-binatang yang hidup di sana.

Jangankan burung-burung, ayam jago pun yang memiliki suara nyaring dan biasa berkokok di pagi hari berhenti berkokok saat mendengar suara merdunya. Maharani membangunkan seisi pulau setiap pagi dengan nyanyiannya. Tidak mendengar suaranya sekali saja, seakan dunia terasa hampa kata seekor burung Bul Bul.

Pernah suatu kali seorang pengelana yang tengah dirundung duka karena tersesat, tiba-tiba saja hatinya merasa terhibur. Hatinya bahagia. Dan entah kenapa ia pun akhirnya bisa menemukan jalan keluar dari pulau terpencil itu.

"Terimakasih wahai sang pemilik suara indah nan merdu. Aku merasa gembira, bahagia tiada terkira. Hingga aku bisa kembali menemukan jalan untuk pulang setelah mendengar alunan suaramu. Siapakah gerangan namamu duhai gadis nan rupawan?" tanya sang pengelana.

"Maharani."

"Bernyanyilah terus. Jangan berhenti. Hiburlah seisi dunia ini kalau perlu. Suaramu sungguh tiada duanya. Terima kasih, sekali lagi terima kasih duhai Maharani," ujar sang pengelana sambil berpamit pergi.

Namun, suatu hari suara merdunya tidak terdengar. Seisi pulau bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Semua makhluk hidup pada hari itu seakan dirundung duka. Kepiluan yang terasa. Hingga hal tersebut mengundang sang raja hutan mendatangi Maharani untuk menanyakannya.

"Wahai gadis pujaan, apa gerangan yang membuatmu tidak bernyanyi pagi ini?" ujar raja hutan yang diiringi puluhan binatang lainnya.

"Saya tengah dirundung duka, raja hutan. Bunda, ibuku jatuh sakit. Berbagai obat sudah coba saya berikan. Jangankan obat, Bunda sulit menelan makanan," tutur Maharani sambil berurai air mata.

"Ooh...ada obat mujarab tapi...." si raja hutan tidak meneruskannya.

"Tapi kenapa? Di mana? Ke ujung dunia pun akan saya cari, apa pun imbalan dan rintangannya akan saya hadapi," ujar Maharani.

Karena dengan tekad yang sudah bulat dan kesungguhan dari Maharani, akhirnya si raja hutan pun memberitahukannya. Meski dengan berat hati. Obat itu adalah air liur raksasa goa hijau yang dikenal bisa mengobati penyakit apa pun juga. Tapi, siapa pun belum pernah ada yang berhasil mendapatkannya. Banyak orang yang mencoba mendapatkannya, alhasil tak pernah kembali. Binasa, ditelan bulat-bulat oleh raksasa.

Pergilah Maharani yang diiringi tangis haru serta doa seisi pulau. Tanpa mengenal lelah, Maharani pun sampai di goa hijau yang gelap gulita. Tiba-tiba saja napasnya sesak seakan tubuhnya ada yang memegangnya dengan erat. Astaga! Benar saja lima jari besar mencengkram tubuh Maharani yang kecil mungil.

"Ada keperluan apa hai anak manusia? Setor nyawa ya..hoa ha ha!" ujar si raksasa yang suaranya menggetarkan seisi goa.

"Maaf, tuan raksasa atas kelancangan saya datang kemari. Saya datang menghadap tuan hendak meminta air liur tuan guna mengobati penyakit Bundaku," tutur Maharani memberanikan diri.

"Hoa ha ha...berani nian engkau datang kemari. Saya sudah lapar. Sudah lama tidak makan anak manusia...lapar...saya lapar," sergah raksasa seraya hendak melahap Maharani ke dalam mulutnya yang besar.

"Sebentar! Sebentar! Sebelum tuanku memakan hamba. Perkenankanlah hamba menyanyikan sebuah lagu sebagai permintaan terakhir," pinta Maharani menghiba.

"Menyanyi? Hoa ha ha...baiklah tapi awas jangan coba-coba melarikan diri. Saya beri kesempatan kepadamu wahai gadis pemberani. Menyanyilah," ujar raksasa sambil melepaskan Maharani dari genggamannya.

Lalu menyanyilah Maharani dengan penuh perasaan hingga suaranya sampai terdengar ke seluruh pulau. Semua makhluk hidup yang mendengar menitikan air matanya. Mereka seolah tahu, bahwa Maharani tak akan kembali dan mereka tak akan bisa mendengar lagi suara merdunya. Tapi tak disangka, rupanya raksasa penghuni goa hijau itu pun tersentuh hatinya.

"Hai anak manusia, uhuk! uhuk! Sungguh merdu sekali suaramu. Membuatku sedih. Uhuk! uhuk! Baiklah kali ini saya luluskan permintaanmu, tapi dengan syarat tiap bulan purnama engkau harus datang dan bernyanyi untukku. Uhuk! Uhuk," kata raksasa sambil menangis sesenggukan yang kemudian dijawab setuju oleh Maharani.

Setelah diberikan beberapa tetes air liur, Maharani pun pulang ke rumah. Ia memberikannya kepada Bunda tercintanya. Ajaib, seketika itu juga Bunda sembuh dari sakitnya. Betapa girangnya Maharani. Kini setiap pagi di pulau terpencil itu pun terdengar kembali alunan suara merdu Maharani. Begitu pun setiap bulan purnama, ia selalu bernyanyi di goa hijau untuk raksasa.

Tidak ada komentar: