13 Februari, 2008

Perseteruan Angin dan Matahari

(13)
2 Februari 2003

SUATU hari terjadi pertengkaran seru antara Angin dan Matahari. Masing-masing merasa lebih kuat. Nun jauh di angkasa raya sana semua penghuni yang ada merasa ketakutan karena keduanya merupakan kekuatan besar yang ada di Jagad raya. Tak ada yang berani memisahkan. Salah-salah malah bisa binasa sendiri. Seperti bintang yang tak bergeming, enggan menebarkan kerlipnya. Begitupun bulan, sudah malah-malasan untuk mengunjungi Bumi seperti biasanya. Apalagi awan, rasanya tak mau beranjak dari peraduannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini dua keras kepala tak mau saling mengalah. Apa jadinya alam raya kita ini. Bagaimana dong," ujar bintang berekor sambil berkelebat ke sana kemari saking cemas dan gelisahnya.
Sementara itu, Matahari dan Angin masih tampak bersitegang. Saling dorong ke kanan dan ke kiri. Saling ejek kekurangan masing-masing. Hingga dalam satu kesepakatan, keduanya ingin beradu kekuatan yang disaksikan oleh penghuni Jagad raya. "Baiklah, kita sudahi perseteruan ini dengan satu syarat. Siapa yang bisa membuka mantel kakek tua yang ada di Bumi itu, dialah yang menang," ujar Matahari yang disetujui Angin.
Semua penghuni Jagad Raya harap-harap cemas. Mereka tak bisa memihak satu diantara keduanya. Karena selama ini, keduanya memang dianggap paling kuat. Mereka hanya menjadi saksi dan juri atas keduanya yang tengah beradu kekuatan.
Dengan sekuat tenaga angin mengeluarkan seluruh kemampuannya hingga di Bumi di mana kakek tua tengah berjalan di sebuah taman berjalan tertatih-tatih. Ia memegang tiang lampu taman, topinya terbang. Mantelnya dipegang kuat-kuat. "Aduhh! Kok tiba-tiba angin kencang begini. Hii..dingin," tutur kakek itu sambil berusaha duduk di bangku taman.
Tangan kakek tua semakin erat memegang mantel dan bangku. Angin tetap berusaha meniupkan kekuatannya agar mantel kakek tersebut terlepas dari badan. Namun semakin kuat angin bertiup, semakin kuat pula kakek itu memegang mantelnya. Akhirnya, angin itu pun menyerah. "Sudah! Aku menyerah, sekarang giliranmu. Aku yakin dia akan semakin merapatkan mantelnya terkena sinarmu," ejek Angin.
Matahari mencoba mendekati kakek tua tadi perlahan. Lembut. Ia menebarkan kehangatan. Kakek tua merasa nyaman. Bahkan, lambat laun ia menggerak-gerakan tubuhnya. "Nah, ini baru nyaman. Matahari bersinar terang tidak terlalu menyengat badan," tuturnya. "Wah! Setelah menggerak-gerakan badanku ternyata malah jadi gerah. Mestinya aku buka mantel dulu," katanya pada diri sendiri sambil membuka mantelnya.
Matahari tersenyum penuh kemenangan. Tapi, ia tidak berusaha mengejek Angin, sebaliknya ia menggandengnya dan mengajak bersalaman. Bahkan meskipun dia keluar sebagai pemenangnya, ia tetap meminta maaf karena telah membuat Angin marah kepadanya.
"Maafkan aku, bukan bermaksud membuat kamu marah. Tapi, perlu kamu ingat adakalanya kelembutan itu lebih baik ketimbang kekerasan. Kamu bisa lihat sendiri kan?" ujar Matahari sambil merangkul Angin dan mengajaknya berjalan-jalan mengitari Jagad Raya.

Tidak ada komentar: