05 Maret, 2008

Tujuh suku protes penyerahan ulayat Tuamado

LEWOLEBA, PK--Penyerahan lokasi pertambangan tembaga dan emas Wei Puhe oleh enam suku pemegang ulayat Tuamado, Desa Panama, Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata, 21 Februrai 2008 lalu ditentang Suku Benihading Leu Pitu (tujuh kampung) Leunahaq,Waqkio,Wulakada, Ailiuroba, Leudawan dan Toul. Penyerahan itu mengabaikan hak dan keberdaaan suku lain, termasuk suku Beniehaq atas lokasi Wei Puhe dan sekitarnya.
Penolakan itu disampaikan dalam pertemuan Suku Beniehaq dengan Wakil Bupati Lembata, Drs.Andreas Nula Liliweri dan pimpinan DPRD Lembata, Senin (3/3/2008).
Dalam pernyataan yang dibacakan Bertolomeus Erwin, perbuatan enam suku yang menyebut pemegang ulayat di Wei Puhe dan sekitarnya, telah memanipulasi dan memutarbalikkan sejarah penguasaan hak ulayat. Tindakan mereka sangat meresahkan warga suku lainnya dan merusak hubungan antar suku yang dikhawatrikan bisa menimbulkan konflik antar suku.
Berdasarkan sejarah penguasaan hak ulayat, keenam suku dari Kampung Tuamado menyerahkan lokasi Wei Puhe, tidak berhak atas penguasaan ulayat di Wei Puhe. Sesungguhnya lokasi Wei Puhe dan sekitarnya merupakan hak ulayat suku Ulunalaq serta suku-suku dari Benihading.
Ketua DPRD Lembata, Drs.Pieter Boliona Keraf, mengakui belum tahu reaksi Bupati Lembata, Drs.Andreas Duli Manuk pada saat menerima penyerahan tanah ulayat oleh pemegang ulayat Tuamado. Sebab, proses menuju industri pertambangan belum sampai pada tahap penyerahan tanah.
"Apakah penyerahan tanah ulayat ini karena dorongan oknum aparat pemerintah atau karena kerelaan pemilik ulayat. Pemerintah dan DPRD harus duduk bersama dengan masyarakat untuk membahasnya. Kami belum duduk satu meja membahasnya. Saat ini belum ada kesepakatan apakah rakyat menyerahkan tanahnya atau belum," kata Pieter.
Pieter menyatakan, ia punya pendirian menyikapi reaksi pro dan kontrak masyarakat Lembata mengenai rencana investasi pertambangan tembaga dan emas digarap Merukh Enterprises, yakni semua proses harus mengikuti prosedur yang benar.
Dikatakannya, kontrak karya pertambangan di Lembata tidak bisa dilakukan selama masih ada protes dan penolakan oleh masyarakat pemilik lahan. Investor yang terlalu memaksakan diri bisa dijerat masalah hukum. "Jangan sampai orang sudah baku bunuh tetapi tambang tidak jadi. Apakah mereka yang menyerahkan dan menolak penyerahan ulayat itu benar-benar pemilik yang sah. Harus diteliti lagi keabsahaannya. Suatu waktu bisa muncul masalah," tandasnya.
Pieter menegaskan, DPRD Lembata akan menyurati pemerintah daerah meminta penjelasan resmi hasil eksplorasi yang dilakukan perusahaan.
Wakil Ketua DPRD Lembata, Felicianus Corpus, mengingatkan pemerintah berhati-hati memberi reaksi kepada pemegang ulayat yang menyerahkan dan menolak penyerahan ulayat. Kondisi ini bisa menjadi benih konflik antar suku-suku pemegang ulayat.
"DPRD akan desak pemerintah supaya teliti dokumen keabsahan pemilikan tanah ulayat. Batas-batas ulayat itu sampai di mana? Jangan sampai yang bukan pemegang ulayat menyerahkan orang punya milik. Pemerintah harus hati-hati meneliti keabsahan pemilikan ulayat itu,"kata Corpus.
Wakil Ketua Komisi B, Yohanes Vianey Burin, S.H, mengingatkan pemerintah dan investor tidak membenturkan masyarakat dengan masyarakat. Masyarakat harus diajak duduk bersama membicarakan lagi rencana industri pertambangan. (ius)

sumber: Pos Kupang (Senin 3:3:2008)

Tidak ada komentar: