19 Maret, 2008

Rebutan Perempuan Bisa Picu Konflik Horizontal

PALU - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, menyatakan rebutan wanita oleh kaum laki-laki bisa memicu timbulnya konflik horizontal di tengah masyarakat.

"Sudah banyak buktinya dan akibat yang ditimbulkan merugikan semua pihak, sehingga harus dihindari," kata dia, ketika berbicara pada acara "Workshop & Gender Exhibition di Palu, Senin.

Acara yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Tengah/Sulteng itu, dihadiri ratusan peserta dari LSM dan instansi pemerintah setempat yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak.

Acara ini juga dihadiri Gubernur HB Paliudju, Ketua DPRD Sulteng Murad Nasir, anggota Muspida Sulteng, serta Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Sulteng Kamsiyah Paliudju.

Meutia menceritakan keadaan pada sebuah daerah di pedalaman Papua, dimana terdapat satu suku yang mayoritas warganya adalah kaum laki-laki. Karena kondisi tersebut, mereka mencari pasangan dari suku lain yang kebetulan memiliki lebih banyak perempuan.

"Merasa anggotanya diambil, maka perang antarsuku pun akhirnya pecah," katanya. Menurut putri dari proklamator Bung Hatta tersebut, konflik yang dipicu oleh perebutan perempuan ini juga terjadi di berbagai tempat lain, termasuk dalam wilayah perkotaan.

Cuma, lanjut ahli antropologi sosial ini, pola pemikiran masyarakat perkotaan lebih modern, sehingga sebagian besar mereka masih bisa mengendalikan amarah. Untuk menghindari terjadinya konflik yang dipicu oleh hal sepele seperti itu, Meutia mengatakan perlunya pemahaman tentang status pria dan wanita oleh semua pihak, sehingga wanita tidak seperti "barang" yang harus diperebutkan.

Ia juga mengatakan, jika dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga, perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan juga bisa memunculkan konflik, namun skalanya kecil. Menurutnya, perempuan dan pria memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan di lingkungan rumah tangga.

"Yang terpenting yaitu setiap ada masalah harus bisa dikomunikasikan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan konflik," katanya. Namun demikian, Meutia menyatakan istri juga tidak boleh seenaknya memerintah suami.

"Perlu ada kerjasama dalam mengarungi biduk rumah tangga, sehingga dapat melahirkan keluarga yang harmonis," katanya di hadapan peserta workshop yang sebagian besarnya kaum wanita.

Pada kesempatan itu, Meutia mengingatkan kaum perempuan di Tanah Air untuk tidak berhenti menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi, agar lebih pandai dan tanggap, sehingga dapat berperan dalam menentukan perubahan. "Saya kira kalau semua pihak menyadari statusnya masing-masing, pasti tidak akan terjadi konflik di negeri ini," katanya. (ANT)

ABI
sumber: kompas.com (Senin, 17 Maret 2008; 15:24 WIB)

Tidak ada komentar: