04 Oktober, 2009

Soccer Corner: Aneka Cara Menyatakan Cinta

KEKUATAN suporter sepak bola ditunjukkan dengan cara berbeda-beda. Di Inggris ada sebuah contoh.

Di mana-mana, suporter sepak bola kerap berlaku selayaknya pemilik klub. Presiden klub, direktur, manajemen, atau pemain pun bisa kalah dari mereka dalam hal “kepemilikan”.

Di Italia memang banyak contoh kasus. Tapi di negara-negara lain pun terjadi. Termasuk di Inggris, negeri yang mengaku nenek moyangnya sepak bola. Bedanya, beberapa tahun terakhir di Inggris tak lagi sering terjadi unjuk rasa atau unjuk kekuatan suporter dengan cara negatif. Jarang-jaranglah.

Menurut sebuah penelitian University of Leicester, suporter sepak bola di Inggris dari tahun ke tahun makin terorganisasi dalam konteks yang positif. Mereka punya “kekuatan” tapi jarang sekali menggunakannya dengan cara merusak. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.

Mau contoh? Ada. September 1998, berita affair antara Bill Clinton dan Monica Lewinski kabarnya kalah ramai dibicarakan di Inggris. Oleh apa? Berita perjuangan suporter Manchester United, agar klub mereka tak dikuasai oleh konglomerat media, Rupert Murdoch. Tujuh bulan suporter MU berjuang, akhirnya mereka menang.

Ketika Queens Park Rangers (QPR) berencana merger dengan Wimbledon beberapa tahun lalu, suporter kedua klub menolak. Mereka menentang, tapi tak rusuh. Tertib dan mengutamakan dialog dengan manajemen klub. Di luaran, mereka berdemonstrasi secara kontinyu namun tetap tertib. Sampai-sampai rencana mergernya batal.

Ketua Wimbledon saat itu, Charles Koppel, mengatakan, “Setelah pertimbangan matang, kami memutuskan untuk berhenti bernegosiasi dengan pihak QPR. Proposal sebenarnya sudah matang, didukung tinjauan dari sisi finansial dan bisnis. Tapi, kami tak mau kehilangan suporter yang selama ini setia mendukung. Tanpa mereka, kami tak akan bertahan.”

Di London, kabarnya Wimbledon sulit menjaring lebih banyak suporter. Sulit tumbuh jadi klub besar. Maklum, di sana setidaknya bercokol empat klub yang jauh lebih mapan: Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan Fulham.

Manajemen Wimbledon berkali-kali berniat pindah homebase. Di antaranya ke Dublin (Irlandia), Milton Keynes (Inggris Tengah), atau Skotlandia. Semua rencana tersebut jadi mentah karena mereka mati-matian dicegah oleh suporter setianya di London.

Soal pemecatan pelatih karena desakan suporter pun ada. Misalnya saja, pemecatan Ian Bradfoot dari kursi pelatih Southampton pada tahun 1994. Lalu, masih ingat bagaimana Glenn Hoddle diberhentikan dari jabatan pelatih tim nasional Inggris? Hoodle ketika itu salah bicara, menghina orang cacat. Kontan suporter Inggris menuntutnya mundur. FA (asosiasi sepak bola Inggris) tak mau ambil risiko melawan opini publik. Hoodle dilengserkan.

MELENGSERKAN PRESIDEN
Di musim 1993-94, suporter Manchester City bahkan melakukan “langkah” yang lebih besar. Mereka rajin berdemonstrasi sehingga Peter Swales – jabatannya ketua klub – terpaksa mundur. Begitu Swales mundur, nama baru disodorkan, Francis Lee, dan ternyata kesampaian. Lee jadi ketua!

Gerakan suporter itu disebut Maine Road Fan Power. Ada pula yang menyebutnya The Battle of Manchester City. Kelak, Swale sendiri mengakui hebatnya kekuatan suporter. “Mereka menentukan siapa yang tepat di posisi presiden dan tak mau menerima orang lain,” katanya.

Kasus ini mungkin membawa kita kepada cerita dari kota Milan, Italia. Beberapa bulan lalu, Massimo Moratti mundur dari jabatan Presiden Inter Milan. Dia rupanya gerah juga karena lama ditekan oleh tifosi.

Moratti bukan hanya presiden. Dia juragan Inter. Sudah ratusan juta pounds keluar dari koceknya. Tapi, kalau tifosi mengecamnya terus, jerilah dia. Apalagi, selama memimpin, hanya gelar Piala UEFA 1996-97 yang berhasil diraih Inter.

Lain halnya Florentino Perez. Rencana Perez untuk memindahkan Stadion Santiago Bernabeu dan pusat latihan Real Madrid memang ditentang suporter. Alasannya, stadion tersebut sangat bernilai historis. Catat pula bahwa stadion itu dipersembahkan untuk nama Santiago Bernabeu, presiden terhebat sepanjang sejarah Madrid.

Tapi, kekuatan suporter untuk menentang rencana tersebut perlahan pupus. Pasalnya, Perez berhasil membuat suporter Madrid sibuk memperhatikan tim megabintang yang dibangunnya. Pindah stadion? Ya sudahlah. Yang penting Madrid punya Figo, Zidane, Ronaldo, dan Beckham.

Suporter biasanya diam dan mendukung sepenuhnya, apa pun kebijakan klub, jika prestasi oke. “Suporter selalu menuntut yang terbaik dari para pemain kesayangan mereka,” kata Ken Bates, mantan Ketua Chelsea, suatu kali.

Kalau prestasi jelek, “kekuatan suporter” bisa menyerang klub sendiri. Dan, kekuatan itu tak selalu besar. Yang kecil-kecil pun mengigit. Maret 2003, beberapa hari setelah Lazio dihajar 1-5 oleh AS Roma, suporter Lazio menyerang Dino Baggio dan Lucas Castroman. Sementara kedua pemain itu lari terbirit-birit, tak berapa jauh dari sana, staf Lazio juga hampir jadi sasaran amuk massa. Mereka adalah ahli fisioterapi Doriano Ruggieri dan asisten pelatih Alberto Zaccheroni (kala itu), Roberto Rossi, juga hampir jadi sasaran.

Beda ‘kan dengan di Inggris? Barangkali, tifosi di Italia juga sangat mencintai klubnya. Hanya caranya sering salah. Kebablasan. Yang begitu jangan ditiru di sini, ya! (reyns)

Beberapa Versi Unjuk Kekuatan Suporter
Milan (Italia): Bom Molotov untuk Vieri
Februari 2004. Tifosi garis keras Inter Milan melemparkan bom minyak ke restoran Baci e’Abracci yang dimiliki oleh Christian Vieri dan Christian Brocchi. Restoran milik Fabio Cannavaro yang bernama Rosso Podomoro juga dibom dengan molotov. Itu pesan jelas, betapa tifosi Inter kecewa terhadap penampilan buruk I Nerazzurri.

Buenos Aires (Argentina): Berhentikan Liga!
September 2003. Secara tidak langsung, suporter “memaksa” Liga Argentina nyaris dihentikan, karena berbagai kekacauan dan kerusuhan yang mereka buat di dalam dan di luar stadion. Dari sebuah polling di Harian Clarin, sebanyak 63,3 persen responden mengaku takut datang ke stadion karena ada suporter brutal. Sebanyak 62,1 persen juga minta agar liga dihentikan dulu sampai situasi aman. Tapi, Menteri Keamanan Argentina, Juan Jose Alvarez, mengizinkan pejabat liga untuk terus memutar kompetisi.

Manchester (Inggris): Mundurkan Jam Kick-Off!
Maret 2003. Suporter Manchester United (MU) protes besar-besaran. Mereka menuntut manajemen klub agar pertandingan tak lagi dimulai pada waktu makan siang. Pada musim 2002-03, MU hanya memainkan lima dari 22 partai home di Old Trafford mulai jam 3 sore waktu setempat. Sisanya, kick-off dilakukan di waktu makan siang. “Kami berusaha bernegosiasi dengan manajemen,” kata Mark Longden, ketua Independent Manchester United Association. “Seharusnya, 50 persen jadwal pertandingan home dimainkan jam tiga sore pada hari Sabtu.”

Manajemen MU terpaksa memajukan kick-off ke tengah hari lantaran tuntutan dari pemegang hak siaran langsung televisi. Jadwal tengah hari lebih cocok untuk siaran langsung ke Asia. Siang hari di Inggris adalah malam hari di Asia. “Tapi, ‘kan kami–para suporter–yang hadir dan mendukung MU di stadion. Bukan televisi,” kata Mark Longden, Ketua Independent Manchester United Association. “Sekaranglah para pejabat harus lebih paham kebutuhan konsumen.”

Roma (Italia): Trapattoni Didemonstrasi
Mei 2002. Ratusan suporter berkumpul di depan kantor pusat FIGC (federasi sepak bola Italia). Mereka berdemonstrasi. Mendesak agar pelatih tim nasional Italia, Giovanni Trapattoni, memasukkan nama Roberto Baggio ke skuad yang akan dibawanya ke Piala Dunia 2002.

Hari itu, Trapattoni akan mengumumkan 23 nama pemain pilihannya, Di luaran, tifosi Baggio sudah mendengar desas-desus bahwa pemain idolanya tak bakal terpilih. “Tak ada Piala Dunia tanpa Baggio,” begitu teriakan dan bunyi spanduk mereka. Baggio lantas dipanggil Trapattoni? Tidak.

Eindhoven (Belanda): Menghentikan Pertandingan
Maret 2001. Suporter PSV Eindhoven marah. Mereka protes besar ketika kapten PSV, Mark van Bommel, dikartumerahkan wasit dan timnya diganjar penalti saat melawan Kaiserslatern di Piala UEFA. Kericuhan lantas terjadi, sehingga wasit asal Spanyol, Antonio Lopez Nieto, terpaksa menghentikan pertandingan selama 15 wasit.

Pelatih PSV, Erik Gerets, dan para pemain PSV berusaha menenangkan suporternya. Tak sepenuhnya berhasil, tapi suasana mendingin setelah keamanan turun tangan. Pertandingan baru bisa dilanjutkan setelah para perusuh yang protes secara berlebihan itu dipaksa keluar. “Sungguh bahaya. Seseorang bisa terbunuh,” kata pelatih Kaiserslautern, Andreas Brehme.

Leeds (Inggris): Pecat Pelatih Kepala!
Maret 2002. Suporter Leeds United mendesak pemecatan head coach (pelatih kepala) Brian Kidd. Mereka menyanyikan lagu-lagu ejekan di stadion untuk Kidd. Menurut mereka, Kidd adalah biang keladi prestasi buruk The Whites saat itu – tak pernah menang dalam 10 partai berturut-turut. Tapi, Kidd didukung oleh semua pemain dan atasannya, manajer-pelatih David O’Leary.

Florence (Italia): Menghancurkan Patung
Juni 2000. Setelah Gabriel Batistuta ditransfer ke AS Roma, suporter Fiorentina marah besar. Mereka protes, berdemonstrasi menentang keputusan manajemen, dan membakar patung Batistuta di Kota Florence. Padahal, mereka sendiri yang mendirikan patung setinggi 30 kaki (lebih dari tiga meter) tersebut.

Barcelona (Spanyol): Protes Penjualan Bintang
Juli 2000. Suporter Barcelona berunjuk rasa setelah Luis Figo dijual ke Real Madrid. Manajemen Barca, yang merelakan bintangnya ditukar dengan sejumlah uang, uniknya diprotes sebentar saja. Yang paling menderita adalah Figo. Suporter garis keras Barca terus memaki-maki dan mengejek Figo sampai berbulan-bulan.

Catatan: Hanya sebagian kasus dalam empat tahun terakhir.



http://blog.reynoldsumayku.com/?p=61
(Feb 21st, 2005 [Tabloid SOCCER edisi 40 Th IV])

Tidak ada komentar: