23 September, 2008

Politik Kesejahteraan Keluarga

BELAKANGAN ini, banyaknya partai baru yang bermunculan untuk ikut perhelatan akbar pemilu 2009 cukup banyak. Bahkan saking banyaknya, tak heran kalau obrolan masalah politik itu sudah sampai ke wilayah ibu-ibu arisan di tingkat RT di pelosok kampung Batubengkok. Yang biasanya obrolannya hanya seputar tetangganya yang punya kulkas baru, teve baru, sofa baru, atau tetangga baru sampai ke masalah tetangga dari tetangganya yang kawin dengan tetangganya tetangga tetangganya dari RT tetangga. Kini obrolan semacam itu sudah dianggap ketinggalan zaman atau kuno. Kalau mengutip istilah Tukul Arwana si empunya acara Empat Mata di Trans7, orang ketinggalan zaman itu disebut Katro atau Wong Ndeso. Nah, karena tak mau disebut Katro, maka berbondong- bondonglah para ibu itu sekarang berbicara tentang politik. Bahkan memasukan masalah politik ini ke dalam agenda tetap arisan mereka.

Tak terkecuali, saking bersemangatnya, mereka kini tengah berjuang dan berusaha untuk mengusulkan mengubah kepanjangan PKK yang tadinya Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga menjadi Politik Kesejahteraan Keluarga. Mengingat toh selama ini, PKK itu sendiri selama ini kerap mengalami perubahan kepanjangan beberapa kali. Bermula sejak awal didirkan sekitar tahun 1957 PKK itu kepanjangan dari Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, kemudian diubah menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, lalu alih-alih seiring waktu yang berjalan dan mengikuti perkembangan zaman PKK itu pun berubah kembali kepanjangannya menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Untuk alasan itu pula lah, ibu-ibu RT di Kampung Batubegnkok yang menyebut dirinya sebagai ‘garis keras’ itu dengan gigih mengusulkan pengubahan kepanjangan PKK sampai ke tingkat yang paling atas sekalipun. Atasnya siapa dan dimana, yang jelas mereka bilang, “Kita akan perjuangkan sampai ke tingkat yang paling atas!” (sambil menunjuk ke langit-langit pos ronda yang tengah terdengar suara rebut-ribut kucing bertengkar)

Mereka menyebut ‘garis keras’ katanya agar terkesan lebih politis, seperti yang kerap mereka dengar di dalam berita-berita di televisi. Tentang makna dari ‘garis keras’ itu sendiri saat ditanyakan artinya apa, mereka hanya mesem-mesem, saling pandang, tak ada yang tahu persisnya apa. Hanya ada salah seorang dari mereka, Ibu Imas yang memang mengaku sangat ‘nasionalis’ dengan suara keras dan mantap mengatakan, “Garis keras itu, garis yang memang keras. Ngerti enggak sih, Mas! Kan kalau keras enggak bisa bengkok. Lurus! Mantap! Tidak tergoda korupsi! Maju terus pantang mundur!” ujarnya dengan suara lantang yang diamini suara ibu-ibu posyandu sambil bertepuk tangan saat salah seorang wartawan menanyakan perihal nama ‘garis keras’ yang mereka sandang.

Lain halnya dengan kaum ibu di kampung itu yang menyebut golongan ibu-ibu 'garis lunak'. Saking lunaknya, maunya yang lunak-lunak dan enak-enak saja. Seperti ikut berpolitik menjadi anggota satu partai dengan alasan karena ada asuransinya, kemudahan-kemudahan, bebas uang sekolah, dan keuntungan lain kalau menjadi anggota salah satu partai poltik. Hari ini ikut partai ini, besoknya ikut partai itu, lusa gabung dengan partai ini-itu. Enggak perduli urusan politiknya. Lho, bukannya ibu sudah mengisi formulir keanggotaan dari partai anu? "Ah, ngurus poltik rumah tangga aja susahnya minta ampun. Biarin saja, toh sudah ada ahlinya. Ngapain repot-repot ngurusin politik negara," begitu jawaban Bundo salah seorang dari golongan ibu-ibu ‘garis lunak’.

O ya, kenapa Ibu Imas mengaku-aku ‘nasionalis’, karena menurutnya dengan selalu menyisipkan kata ‘nasionalis’ dalam setiap obrolannya itu menunjukan kalau seseorang itu nasionalis sejati. Tentang makna sesungguhnya dari nasionalis itu sendiri, Ibu Imas malah melotot, berkacak pinggang, sambil telunjuknya menari-nari di depan hidung seorang wartawan yang bertanya kepadanya tentang makna nasionalis itu.

“Nasionalis itu ya nasionalis. Masa, mas wartawan yang pinter ini enggak ngerti yang begitu aja. Saya ini nasionalis sejati mas. Seperti Ibu Megawati yang mantan presiden itu. Saya rela berkorban kok... Saya ini korban dari ketidakadilan dari suami saya. Dia dengan enaknya main mata sama tetangga baru samping rumah, yang janda itu. Enak aja! Wanita mana yang mau dimadu? Janda yang cuma hobinya ganggu suami orang. Dasar! Ya mending cerai aja dong, duren aja dibelah bukannya dibedong… eh, tadi pertanyaannya apa ya mas wartawan?” kata Ibu Imas sambil tersipu-sipu.***

Tidak ada komentar: